twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Monday, June 13, 2011

DASAR-DASAR QUR’ANI DAN SEJARAH TIMBULNYA TASAWUF (KONTAK KEBUDAYAAN HINDU, PERSIA, YUNANI, DAN ARAB)


A.    Pendahuluan
Tasawuf adalah kehidupan rohani dan lebih tegas lagi bahwa bertasawuf itu adalah fitrah manusia. Melihat pengertian tasawuf dimulai dari pembersihan diri yang bertujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi oleh karena Allah SWT itu adalah Nur dan Maha Suci, maka hamba yang ingin berhubungan dengan Allah harus berusaha melepaskan rohnya dari kungkungan jasadnya. Untuk dapat melepaskan roh itu ditempuh jalan riadah (latihan) yang memakan waktu cukup lama. Riadah ini juga bertujuan untuk mengasah roh itu supaya tetap suci. Naluri manusia tetap ingin mencapai yang baik dan sempurna dalam mengarungi kehidupannya. Untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan itu tidak dilalui dengan mempergunakan ilmu pengetahuan saja. Karena ilmu adalah produk manusia dan hanya merupakan alat yang pendek. Manusia akan merasa kehilangan dan kekosongan kalau hanya mengandalkan ilmu materi saja. Jalan menuju hidayah dan kebahagiaan itu tidak lain hanya dengan iman yang kokoh, perasaan hidup yang aman tenteram yang berdiri di atas rasa cinta.[1]
Sesungguhnya tujuan akhir manusia adalah mengikat lingkaran rohaninya dengan Allah SWT sebagai hubungan yang selamanya benar. Apabila orang hanya merasa bahwa akalnyalah satu-satunya yang menjadi imam dan pemberi petunjuk, dia jauh dari pembicaraan kegiatan kehidupan rohani, merasa bangga karena sudah merasa memiliki kemewahan dunia, maka orang tersebut kata Huxley setingkat dengan binatang. Justru karena itu dibutuhkan suatu kehidupan rohani yang mendekatkan seseorang kepada Allah dan ini hanya bisa diatur dalam kehidupan tasawuf.

B.     Dasar-dasar Qur’ani dan Sejarah Timbulnya Tasawuf (Kontak Kebudayaan Hindu, Persi, Yunani, dan Arab)
1.      Pengertian Tasawuf
  1. Tasawuf secara lughawi (bahasa)
Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (perbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.[2]
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.[3]

  1. Tasawuf secara istilah
Secara istilah banyak pendapat diantara para ahli. Ada yang mengatakan Tasawuf itu adalah:
1)      Untuk membersihkan Hawas (Indra)
2)      Untuk membersihkan Qalbu (Hati)
3)      Untuk membersihkan Fuad (Nurani)
4)      Untuk membersihkan Nafs (Emosi)
5)      Untuk membersihkan Akal
6)      Untuk mendapatkan ilham
7)      Untuk membersihkan Insting (Naluri)
Tetapi pada prinsipnya tasawuf itu adalah usaha manusia untuk membersihkan diri agar dekat kepada Allah SWT.[4]
2.      Dasar-dasar Tasawuf dalam Al-Quran dan Hadits
Al-Quran dan Hadits merupakan kerangka acuan pokok yang selalu dipegangi oleh umat Islam. Sering didegar pertanyaan dalam kerangka landasan naqli ini, “Apa dasar Al-Quran-Haditsnya sehingga anda berkata demikian?” atau “Bagaimana Al-Quran dan Haditsnya?”. Pertanyaan-pertanyaan ini sering terlontar dalam benak pikiran kaum muslimin ketika hendak menerima atau menemukan persoalan-persoalan baru atau persoalan-persoalan unik, termasuk persoalan-persoalan tasawuf.[5]
Tasawuf pada awal pembentukannya adalah manifestasi akhlak dan keagamaan. Moral keagamaan ini banyak disinggung dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian, sumber utama tasawuf adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Al-Quran, As-Sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan sahabat. Amalan serta ucapan sahabat tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan begitu, justru dua sumber utama tasawuf adalah Al-Quran dan As-Sunnah itu sendiri.[6]
Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain.
Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an yang artinya :
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kamiberikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.[7]
Diantara nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat 20 yang Artinya : “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafsu mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut.[8]
3.      Sejarah Tasawuf: Kontak Kebudayaan Hindu, Persi, Yunani, dan Arab
Tasawuf yang kita temui dalam khazanah dunia Islam, dari sumber-sumber perkembangannya, ternyata memunculkan pro dan kontra, baik dikalangan muslim maupun dikalangan non-muslim. Mereka yang menganggap bahwa tasawuf Islam merupakan sebuah paham yang bersumber dari agama-agama lain.[9]


Selanjutnya, ada beberapa pandangan tentang asal-usul tasawuf dalam konteks kebudayaan-kebudayaan luar Islam tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah tasawuf yang ada didunia Islam benar-benar terpengaruh oleh konteks kebudayaan tersebut atau tidak.[10]
a.      Unsur-unsur Nasrani (Kristen)
Pertama, adanya interaksi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa Jahiliah maupun zaman Islam. Kedua, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran cara mereka melatih jiwa (riyadhah) dan mengasingkan diri (khalwat) dengan kehidupan Al-Masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian.
Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf merupakan buah kenasranian pada zaman jahiliah. Sementara itu, Goldziher berpendapat bahwa sikap fakir dalam Islam merupakan pengaruh dari agama Nasrani. Goldziher membagi tasawuf menjadi dua: Pertama, asketisme. Menurutnya, sekalipun telah terpengaruh oleh kependetaan Kristen, aliran ini, lebih mengakar pada semangat Islam dan para Ahli Sunnah. Kedua, tasawuf dalam arti lebih jauh lagi, seperti pengenalan kepada Tuhan (Ma’rifat), pendakian batin (hal), intuisi (wijdah), dan rasa (dzauq), yang terpengaruh oleh agama Hindu disamping Neo-Platonisme.
Abu Bakar Aceh, sebagaimana dikutip Abdul Qadir Zaelani, pernah menulis bahwa agama Yahudi dan agama Kristen mempengaruhi pula cara berfikir dalam  Islam.
Pokok-pokok ajaran tasawuf yang diklaim berasal dari agama Nasrani antara lain adalah:
1.      Sikap fakir. Al-Masih adalah fakir. Injil disampaikan kepada orang fakir sebagaimana kata Isa dalam Injil Matius, “Berntunglah kamu orang-orang miskin karena bagi kamulah kerajaan Allah… Beruntunglah kamu orang yang lapar karena kamu akan kenyang.”
2.      Tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan. Para pendeta telah mengamalkan dalam sejarah hidupnya, sebagaimana dikatan dalam Injil, “Perhatikan burung-burung dilangit, dia tidak menanam, dia tidak mengetam dan tidak duka cita pada waktu susah. Bapak kamu dari langit memberi kekutan kepadanya. Bukankah kamu lebih mulia daripada burung?”
3.      Peranan Syeikh yang menyerupai pendeta. Perbedaanya pendeta dapat menghapuskan dosa.
4.      Selibasi, yaitu menahan diri tidak menikah karena menikah dianggap dapat mengalihkan diri dari Tuhan.
5.      Penyaksian, bahwa syufi menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah. Injil pun telah menerangkan terjadinya hubungan langsung dengan Tuhan.
b.      Unsur Hindu Buddha
Tasawuf dan  kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan kebadan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqamat syufiyah, yaitu al-Fana memiliki persamaan dengan ajaran tentang nirwana dalam agama Hindu. Menurut Harun Nasution, ajaran nirwana agama Budha mengajarkan umatnya untuk meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif. Paham fana’ yang terdapat dalam sufisme hamper serupa dengan paham nirwana.[11]
Goldziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Budha Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham, tokoh syufi yang muncul dalam sejarah umat Islam sebagai seorang putra mahkota dari Balkh yang kemudian mencampakkan mahkotanya dan hidup sebagai darwish.
Qamar Kailani dalam ulasannya tentang asal-usul tasawuf menolak pendapat mereka yang mengatakan tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini terlalu ekstrim. Kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu-Budha, berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu-Budha ke Mekkah. Padahal, sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
c.       Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani, seperti filsafat, telah masuk kedunia Islam pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasyiah ketika berlangsung zaman penerjemahan filsafat Yunani. Metode-metode berfikir filsafat ini juga turut mempengaruhi pola pikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat.
Mungkin saja ajaran tasawuf itu dimasuki oleh paham pemikiran Yunani. Misalnya, perkataan, “Apabila sudah baik, seseorang hanya memerlukan sedikit makan. Dan apabila sudah baik, hati manusia hanya memerlukan sedikit hikmat.” Ahli-ahli sejarah, seperti Syaufan menerangkan bahwa banyak bagian dari cerita “Seribu Satu Malam” berasal dari Yahudi.
Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya filsafat kedunia Islam melalui mazhab peripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (peripatetic) kelihatannya lebih banyak masuk kedalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo-Platonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf.
Filsafat emanasinya plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancarkan dari Dzat Tuhan Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam menyikapi asal-mula tasawuf di dunia Islam. Ketika ajaran Neo-Platonisme ini berhasil menyusup kedalam tasawuf, hal yang pertama terjadi adalah penolakan terhadap “keberbedaan” benda-benda (ghairiyat) dari Allah.
Al-Ghazali menegaskan bahwa cahaya kenabian mustahil di dapat oleh sufi yang terkenal dengan keganjilan atau keekstriman konsep-konsepnya. Ia mengambil contoh ungkapan keganjilan yang dibawakan oleh Al-Hallaj, “Aku Yang Maha besar”, atau ungkapan Abu Yazid Al-Busthami, “Maha Suci Aku.” Karena mengaku “Mahasuci”, mereka merasa tidak perlu lagi syari’at Islam. Ini pulalah yang dikatakan “nihilisme syari’at.”
Neo-Platonisme, menurut mir Valiudin, adalah benda yang bukan merupakan satu-satunya objek mulai di anggap sebagai satu-satunya objek yang sebenarnya justru diabaikan.
Ungkapan Neo-Platonisme, “Kenalilah dirimu dengan dirimu”, diambil oleh para sufi menjadi ungkapan, “siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.” Hal ini bias jadi mengerah munculnya teori Hulul, Wahdat Asy-Syuhud, dan Wahdat Al-Wujud. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa cara berfikir kelompok Neo-Shopi (Sufi berketuhanan dan filosof), seperti Al-Farabi, Ibnu Arabi, dan Al-Hallaj, banyak dipengaruhi oleh filsafat.
d.      Unsur Persia
Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal dengan ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara istilah hakikat Muhammad dengan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.[12]
Sejak zaman klasik, bahkan hingga saat ini, terkenal sebagai wilayah yang melahirkan sufi-sufi ternama. Dalam konsep ke-fana-an diri dalam universalitas, misalnya, salah seorang penganjurnya adalah seorang ahli mistik dari Persia, yakni Bayazid dari Bistam, yang telah menerima dari gurunya, Abu Ali (dari Sind).[13]
Kebanyakan ahli tasawuf muslim yang berpikiran moderat mengatakan bahwa faktor pertama timbulnya tasawuf hanyalah Al-Quran dan As-Sunnah, bukan dari luar Islam.
Kesimpulannya bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri, mengingat Nabi Muhammad dan para sahabatnyapun telah mempraktikkannya. Hal ini dapat dilihat dari azas-azasnya yang banyak berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri juga bahwa setelah berkembang menjadi aliran pemikiran (misalnya, tasawuf filsafat), tasawuf mendapat pengaruh dari budaya filsafat yunani, hindu, Persia, dan sebagainya.[14]
e.       Unsur Arab
Melacak sejarah perkembangan tasawuf tidak dapat dimulai hanya ketika tasawuf mulai dikaji sebagai sebuah ilmu. Tentunya, perlu diteliti sejak zaman Rasulullah. Memang pada masa Rasulullah dan masa sebelum datangnya agama Islam, istilah ‘tasawuf’ itu belum ada.
Selama Rasulullah hidup hingga kekhalifahan Abu Bakar sampai Ali (599-661 M), selalu diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan sumpah atau janji setia dan praktik ibadah tasawuf. Sikap zuhud misalnya, telah banyak ditanamkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Kalau dilihat sejarahnya, hidup zuhud ternyata memang telah ada sebelum munculnya agama Islam ditanah Arab.
Oleh sebab itu, untuk meihat sejarah tasawuf, perlu dilihat perkembangan peradaban Islam sejak zaman Rasulullah. Sebab pada hakikatnya kehidupan rohani itu telah ada pada dirinya sebagai panutan umat. Kesederhanaan hidup dan menghindari segala kemewahan sudah tumbuh sejak Islam datang, saat Rasulullah dan sahabat-sahabatnya hidup dalam suasana kesederhanaan. Banyak hadits dan atsar yang menerangkan tentang kehidupan Rasul sebagai sumber pertama bagi kehidupan rohani.[15]
C.    Penutup
Tasawuf adalah fenomena yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari Islam. Menurut kalangan orientalis, tanpa tasawuf maka Islam tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa sisi batin dalam ajaran Islam memiliki peran yang sangat substansial sebagai aspek batiniyah dalam penyokong kegiatan lahiriyah Islam.
Istilah tasawuf sendiri pada dasarnya telah dipergunakan pada abad ke 2 hijriah. Sedangkan orisinalitas ajaranya banyak diperdebatkan. Hal ini disebabkan oleh pertemuan umat Islam dengan berbagai budaya sehingga unsur-unsur mistis dan paham-paham filsafat berbaur kedalam ajarannya. Sehingga ajaran tasawuf yang awalnya sederhana, terbagai menjadi berbagai pokok, seperti ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan metaphisik.
Tasawuf sempat terseret dalam arus perebutan kekuasaan sehingga nuansa perebutan politik sempat mengancam keberadaan dan kelangsungan ajarannya. Begitu pula pertempuran antara fiqih dan filsafat menjadikan tasawuf semakin tidak menentu. Tokoh yang berupaya mendamaikan ketiganya adalah Al-Ghazali, walaupun paska beliau, tasawuf yang bernuansa filsafat kembali marak dengan tokohnya, Ibnu Arabi. Akan tetapi, masa gelap tasawuf masih berlangsung sehingga mengkhawatirkan kalangan ulama lain sehingga ada upaya pembersihan tasawuf dari dunia Arab dengan gerakan wahabinya.


[1] Blog Thaha Abdul Bakri, dalam pengantar Ilmu Tasawuf (Usman Said dkk)
[2] Wikipedia bahasa Indonesia (online)
[3] Ibid.
[4] Jamhir. Pengertian tasawuf. Dikutip pada kuliah di fakultas syariah pada tanggal 14 maret 2011
[5] Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: Setia Pustaka, 2008) hal. 17
[6] Ibid hal. 18
[7] Quran Surat  Asy-Syuura (42) ayat 20
[8] http://Konten.detikpertama.com/artikel/dasar-dasar-tasawuf
[9] Solihin, ilmu tasawuf......hal. 39
[10] Ibid hal. 40
[11] Harun Nasution, filsafat dan mistisisme dalam Islam (Jakarta: bulan bintang, 1992) hal. 58
[12] Solihin, ilmu tasawuf…… hal. 50
[13] Ibid. hal. 51
[14] Ibid. hal. 54
[15] Ibid. hal. 56

1 comment: